Karena itulah, Tuhan memberikan hati.
(catatan yang tertunda, 2010-2011)
"Saya tidak mau minum Starbucks lagi."
Salah seorang tim penyeleksi beasiswa kami mengungkapkan hal tersebut setelah mendengar cerita tentang seorang mahasiswa yang hanya dijatah Rp 20.000 sehari untuk makan. Seorang lainnya bahkan sampai menangis begitu mengetahui ada mahasiswa lain yang hanya punya uang Rp 5.000 untuk biaya makannya sehari. Itu artinya ia hanya mampu makan 1 kali. Entah itu hanya makan pagi, hanya makan siang, atau hanya makan malam. Ada pula yang ayahnya hanya seorang tukang batu sehingga kesusahan membiayai uang kuliah anaknya yang berjumlah Rp 500.000 per semester. Angka ini mungkin tidak seberapa.
Demikianlah para remaja belasan tahun memberikan pelajaran, bahkan 'tamparan' untuk saya, dan sebagian orang yang terlibat dalam proses seleksi penerima beasiswa di Universitas Sumatra Utara, Kamis (30/3/2017) lalu.
Saya kemudian bertanya kepada salah seorang dari tim tersebut. "Apa korelasinya dengan tidak minum Starbucks?"
Jawabnya begini.
"Di kantor kita, minum Starbucks nyaris seperti sebuah habit. Sedangkan kita tahu harganya tidak murah. Bisa Rp 50.000 per cup. Itu kalau hanya sekali minum. Kalau yang sehari bisa minum 3 kali bisa jadi Rp 150.000 yang dihamburkan."
Sangat masuk akal, pikir saya. Yang saya tangkap dari penggambaran sederhana itu adalah bahwa ada perasaan bersalah di balik kebiasaan yang terlihat keren itu. Sementara ternyata ada seorang anak yang untuk memenuhi kebutuhan primernya saja tak mampu, dan kita sibuk dengan kebutuhan tersier kita.
Semua yang terjadi dalam ruangan itu, hanya butuh waktu sebentar untuk membuat saya mengerti bahwa hidup saya terlalu beruntung saat seusia mereka.
Saya masih merekam bagaimana raut muka lelah mereka menantikan kesempatan wawancara. Mereka tetap duduk manis ketika waktu mulai beranjak malam. Saya yakin mereka mati kebosanan, tapi tak punya pilihan. Jika mereka tidak benar-benar butuh, mereka tidak mungkin datang dan bersabar dalam situasi itu. Mereka bahkan melupakan rasa malu ketika tangis mereka terpaksa harus pecah di dalam ruangan itu.
Lalu saya bertanya kepada 2 orang anak, apa yang membuat mereka harus mendaftar beasiswa ini, walaupun sesungguhnya saya sudah bisa memprediksi jawaban mereka.
Ingin meringankan beban orang tua.
Percayalah, alasan ini tidak pernah terasa klise jika mendengar langsung dari getaran suara mereka yang mengandung harapan, dan menyaksikan mereka mengatakannya dengan sisa airmata yang membekas di wajahnya.
Bahkan sejak saat itu, saya belajar untuk tidak lagi menjudge orang-orang ber-IPK sempurna sebagai orang yang tak punya pergaulan dan hanya hidup di dimensinya sendiri.
Tahu kenapa?
Kita belum tentu mengerti bagaimana sulitnya perjuangan seseorang untuk bisa meraih pendidikannya, dan ketika sesuatu yang sangat berharga itu bisa didapatkannya, dia pasti mengupayakan seluruh kemampuan terbaiknya. Seluruhnya.
Tidak ada alasan untuk tidak serius.
Tidak ada waktu untuk bermain-main.
Jadi, jangan pernah lagi mengata-ngatai seseorang ber-IPK tinggi, karena kita tak pernah tahu jika itu adalah harga yang harus ia bayar atas perjuangannya.
Ketika akhirnya seluruh proses seleksi beasiswa selesai di hari itu, saya sadar, saya sedang membawa pulang pelajaran untuk diri saya sendiri. Begitupun beberapa teman. Bahkan malam saat kami makan dengan hidangan seafood berlimpah, kami teringat dengan anak-anak yang entah malam itu dia bisa makan atau tidak seperti kami. Perjumpaan kami dengan kisah-kisah mereka terlalu powerful, yang kadang membuat kami sekaligus merasa bersalah. Tapi tidak, kami seharusnya belajar bersyukur.
Hari ini hari kedua kami kembali ke kantor setelah perjalanan Medan minggu lalu. Saya belum menemukan satu pun batang hidung para tim penyeleksi berseliweran dengan sebuah cup kopi Starbucks di tangannya. Tidak juga berpas-pasan dengan mereka di depan gerainya. Saya pikir mungkin mereka benar-benar sedang menunaikan janji mulianya.
Saya tidak mau minum Starbucks lagi.
#
With a warm regards from us :)
Tanpa mengurangi rasa hormat dan berniat nikung rute mata pencaharian para motivator ataupun HR Expert di dunia ini (macem bener aja cingkunek lo nop!)
Buah pemikiran dan perenungan ini muncul begitu aja setelah pulang kantor tadi. Moment munculnya itu pas lagi nyapu-nyapu kamar dan habis ngerendem cucian pula. Emang kurang kece sih. Mbok ya pas lagi sambil duduk cantik di coffee shop gitu kan!
Jadi gini, gue tiba-tiba mikir. Nyari duit gini amat ya?! Kadang kita (kita?! lo aja keles 😝) jadi kebeban karena ada rasa tanggung jawab untuk kerja yang bener, kerja yang bagus, kalau bisa excellent dan extramiles. Please, ini nggak sama dengan kaum perfeksionis tapi absurd, yang kalo spasi-rata kanan-rata kiri kurang pas dikit aja bisa jadi ledakan kayak bom sarinah. Ini orisinil kaum-kaum yang goalsnya bikin kerjaan jadi bagus.
Terus kerjaan bagus dan kece ini buat apa dan buat siapa? Buat dipuji? Buat nyenengin atasan? Buat bahan 'cari muka'? Duh, poin yang terakhir emang agak gaswat. Kerja dengan motivasi cari duit aja udah capek (ya capek fisik, capek hati sampai bawaannya pengen dinikahin orang kaya melintir aja 😂), lha ini kepikiran 'cari muka'. Jangan yah, plisss pemirsah!
Akhirnya, di sapuan terakhir, gue fix dapat ilham. Confirm. Bukan to be confirmed lagi.
Kerja yang bagus itu untuk diri gue sendiri.
Kerja yang bagus itu adalah nilai diri gue.
Kerja yang bagus itu adalah bukti bahwa gue terdidik dan nggak sia-sia disekolahin.
Kerja yang bagus itu investasi gue untuk 'dilirik' orang yang lebih hebat (siapa tau suatu saat ada CEO ato owner perusahaan yang oke punya ngangkat gue jadi pemimpin di sana kan? Ya Tuhan YME, anakMu kalo ngayal suka nggak kira-kira emang 😅)
Puas banget gue dapat ilham begini. Ya, walaupun ngejalaninnya nggak semudah yang dibayangkan. Layaknya nggak semudah menurunkan berat badan gue, yang penuh suka-duka, asam-garam kehidupan, dan perjalanan panjang seperti panjangnya jalan raya bogor dari arah cililitan.
Terakhir.
Jadi, kerja yang bagus itu buat siapa?!
Ya, buat gue lah. Enak aja buat lo!
*kemudian ditoyor jin sapu*
Persamaan antara sang pembela agama dan sang penikmat kafein adalah : sama-sama tidak boleh overdosis.
Petojo, 27•02•2017