Minggu, 20 November 2016

epilog

0

Aku berharap akan menemukan satu titik,

dimana kita akan berhenti. 


Dimana kita akan meneteskan airmata bahagia,

karena ayah tak perlu bermandikan keringat setiap hari. 


Para lelaki tua tak perlu berdesakan mengangkut barang di gerbong-gerbong kereta.

Ibu-ibu tua tak perlu berteriak nyaring menjajakan makanan.

Dimana kita tak kan lagi melihat orang-orang mengemis karena tak bisa makan,

dan menjual diri pada mulut-mulut pemangsa. 


Tapi dimana?

Suatu Pagi di Kopi Aming

0




Kota Pontianak bisa dibilang kota dengan segudang kedai kopi. Mulai dari yang bernuansa modern hingga kedai kopi tradisional di berbagai pinggiran jalan.

Kedai kopi Aming (Aming Coffee) merupakan salah satu kedai kopi yang cukup tersohor di kota Pontianak. Referensi ini saya dapat dari seorang driver yang kala itu saya serbu dengan segudang pertanyaan tentang kuliner khas Pontianak.

Pagi hari di kedai kopi Aming sudah dipenuhi dengan banyak orang. Tujuannya pun bermacam-macam. Ada yang sekedar duduk menikmati kopi di pagi hari. Ada yang memang berniat sarapan bersama keluarga. Bahkan ada juga yang menjadikan kedai kopi ini sebagai meeting point dengan kawan-kawan lama untuk bereunia-ria. Di kedai kopi Aming sangat jarang menemukan orang yang sibuk dengan gadgetnya. Semua orang saling berbincang, bercerita, tertawa, dan sesekali mengabadikan moment kebersamaan itu dengan berfoto. Tapi mereka tidak sama sekali sibuk dengan handphonenya masing-masing.


Suasana pukul 7 pagi di kedai kopi Aming sebelum mendadak ramai

Kedai kopi Aming sangat hidup. Mengingatkan saya dengan kedai kopi yang dulu sering dikunjungi oleh kakek saya untuk sekedar minum kopi dan membaca koran di pagi hari. Kedai kopi pada zaman manusia memang hanya dapat berbincang dan belum mengenal segala bentuk teknologi komunikasi seperti sekarang. Rasanya, mesin waktu si Doraemon sedang membawa saya kembali ke masa 21 tahun silam.

Gelak tawa tak berhenti di sini. Mengaburkan suara pengamen pinggir jalan yang bahkan sudah dibantu oleh suara gitar dan gendangnya. Suara tawa jauh lebih riuh. Bersanding dengan suara seruput kopi dan suara cangkir yang beradu. Sangat seksi.

Rasa kopinya mungkin tak perlu saya jabarkan secara eksplisit. Penjelasan ini mudah-mudahan cukup merepresentasikan apakah kopi ini membuat ketagihan atau tidak. Dua cangkir kopi ditemani roti srikaya yang khas, ditambah 3 bungkus kopi Robusta saya bawa pulang seselesainya bertandang dari tempat ini. Siapa tahu saya bisa meracik kopi dengan rasa-rasa yang mendekati, pikir saya. Untuk harganya sendiri (info paling penting sejagad raya untuk kaum-kaum yang ngga mau kena jebakan batman sama makanan mahal kayak saya *lol*) lumayan terjangkau. Satu cangkir kopi susu ini harganya Rp 9.000,-, sedangkan roti srikayanya Rp 5.000,-. Si kopi bubuk robusta 100 gram ini sendiri harganya Rp 10.000,-. Cerita punya cerita, kopi bubuk Aming ini juga sering dijadikan orang-orang sebagai "buah tangan" dari Pontianak. 

Kopi Aming yang khas dengan taburan biji kopinya. Aroma kopi double!


Ceritanya mau ngeracik kopi sendiri setelah balik dari sini

Saya memang pengagum, sekaligus pemburu kedai kopi yang tak terjebak dengan arus modernisasi. Meski tidak bisa digeneralisir, setidaknya sebagian besar kedai kopi lama yang saya kelilingi jarang sekali yang menyediakan fasilitas wifi. Seakan memaksa setiap manusia yang duduk di sana tidak punya pilihan lain selain berbicara satu sama lain. Buat saya, secanggih apapun fasilitas yang diberikan warung-warung kopi kekinian tidak akan pernah bisa mensubstitusi indahnya sebuah perbincangan dan gelak tawa yang alami, yang seringkali saya temukan di kedai-kedai kopi tradisional. Jika berada di Jakarta, anda mungkin bisa mencoba ke salah satu kedai kopi yang memiliki atmosfer yang sama, Kopi Es Tak Kie yang terletak di Gang Gloria, Glodok, Pecinan Jakarta. Ya, tiap orang bebas memiliki kecintaannya masing-masing. Jangan salahkan saya jika menjadi pendukung garis keras keberadaan kedai kopi tradisional di dunia ini :D

Jadi, kapan kita bisa ngopi darat di kedai kopi andalan saya? *wink!

Senin, 07 November 2016

Sepotong Surga di Utara

0


Pikirannya teralih sekian menit dari ruang di bumi ini, bahkan dari seseorang yang sejak puluhan jam lalu menemaninya di sebuah kota kecil bernama Rantau Prapat. Riuhnya suara musik khas Sumatera Utara yang mendengung kencang dari bermacam-macam bus yang melintas sama sekali tidak mengganggunya. Sepiring Mie Gomak1 dan secangkir teh manis panas yang tersaji di hadapannya masih terabaikan sejak tadi. Teduhnya pemandangan danau yang terhampar luas di depan mata mengalihkan perhatiannya dari apapun. Ia sedikit kecewa mengapa Mamanya tak memberitahunya sejak kecil bahwa tanah Sumatera Utara itu begitu cantik.

“Kau pernah tahu berapa luas danau ini?” tanyanya kepada Nathan, anak sulung dari kakak perempuan Mamanya yang diamanatkan khusus untuk menemaninya pergi kemanapun selama tujuh hari berada di sana.
“Aku tak terlalu berminat untuk mengetahuinya,” jawab Nathan singkat. Ia pun mulai mengaduk-aduk sepiring mie di hadapannya dengan garpunya, dan mulai melahapnya perlahan-lahan.
“Kau pernah berpikir bagaimana Tuhan menciptakan ini?” tanyanya lagi kepada saudara sepupunya itu.
“Aku tak bisa menyelaminya.”
“Aku pikir ini tak mungkin tercipta dari sebuah legenda seperti yang aku sering baca ketika SD dulu,” balasnya berargumen.
“Aku sepakat. Tapi lebih baik kau habiskan dulu makananmu sebelum kau makin tidak berselera. Mie itu sudah tidak nikmat lagi kalau dimakan dalam keadaan dingin,” ujar Nathan kemudian.
“Oke.” Ia mengernyitkan dahi, seperti belum bisa sepenuhnya menurut.
“Hmmm.. Bisakah nanti kita kembali lagi ke tempat tadi? Itu kerang rebus terenak yang pernah aku makan dan aku ingin membawanya beberapa kantong lagi, dan.. juga air niranya.. Oke?lanjutnya tak lama.
“Kau yakin ingin membawa air tuak2 itu lagi?!” tanya Nathan sedikit kaget.

Ia belum pernah menemukan seorangpun perempuan yang bisa menyukai minuman seperti itu selain perempuan-perempuan di daerahnya. Itupun tidak semuanya.
 “Ya. Kenapa tidak? Rasanya enak, dan aku belum pernah menemukan perpaduan makanan dan minuman seunik itu, bahkan ketika aku masih tinggal di Melbourne.”
“Okelah. Apapun untuk seorang Denise,” jawab Nathan akhirnya pasrah. Belum pernah ia bertemu dengan perempuan yang begitu kritis dan banyak bertanya. Ia bahkan sampai kesulitan menjelaskan apapun, termasuk perkataannya untuk tidak meminum bergelas-gelas tuak jika tidak ingin mabuk.
“Segera habiskan makananmu. Sebentar lagi kapalnya akan datang, dan kita tidak boleh ketinggalan karena perjalanan menuju Pangururan masih panjang,” lanjut Nathan kemudian.
“Hmmm.. Bang Nathan, bisakah kau ajari aku berbicara seperti logat orang Batak?” tanyanya serius. Pria itu seketika terdiam. Bingung harus terlihat serius, atau dengan jujur tertawa.
Tawa Nathan meledak. “Hahaha.. Denise, aku tak perlu mengajarimu. Kebanyakan orang yang tinggal cukup lama di sini, secara alamiah akan mengikuti sendiri. Aku akan tanyakan kepada Tante3 bagaimana logat bahasa Batakmu begitu kau pulang ke Jakarta.” Anak ini memang ajaib, pikirnya. Entah darimana ia mendapat ilham mengeluarkan kata-kata semagis itu.
“Sejak aku tiba di sini, nyaris semua orang melihatku seperti orang asing karena aku tak bisa berbahasa Batak. Opung4 bilang kalau aku tidak seperti orang Batak karena terlalu lama tinggal di negeri orang. Katanya, bahasa dan wajahku jauh sekali dari tipikal orang Batak,” ujarnya sedikit putus asa. “Bagaimanapun aku tetap orang Batak meskipun aku tak punya marga di sini,” lanjutnya lagi.

Ada satu menit mereka saling terdiam dari satu jam lebih mereka duduk bersama tanpa berhenti bicara. Nathan mulai mengerti sebuah irony yang terjadi atas gadis yang selama 4 hari ini ia temani. Raut wajahnya tampak sendu, berkontradiksi dengan ekspresi girangnya yang meluap-luap ketika pertama kali melihat hamparan luasnya air Danau Toba dari ketinggian jalan di Prapat tadi. Lantas ia berteriak-teriak seperti orang yang belum pernah melihat air, ”Wow!! Ini lebih pantas disebut lautan!”


Kapal feri menuju Tomok sudah berlabuh di dermaga pelabuhan siang itu. Kapal terakhir jika mereka tidak mau tiba kemalaman di Pangururan, sebuah kota kecil di Pulau Samosir, tanah kelahiran Opung dan Mama mereka. Suaranya jelas membuyarkan keheningan yang terasa beradab-abad.

“Ayo.. Berangkat! Jangan khawatir, kita punya banyak waktu untuk belajar bahasa.. Oke?” ujar Nathan tersenyum.

Seketika wajahnya cerah kembali. Dengan semangat ia mengangkat ranselnya yang sudah belel dan memakai topi bernuansa army-nya kembali, tanda ia sudah siap mengarungi perjalanannya yang masih puluhan kilometer di depan sana.  
“Oh ya! Jangan lupa siapkan uang koin yang banyak!” lanjut Nathan sepintas membuatnya penasaran. Ia belum mengerti mengapa saudaranya sepupunya itu memintanya untuk menyiapkan uang koin yang banyak, hingga ia menatap takjub atas banyaknya anak kecil yang berenang-renang lincah di sekitar kapal feri mereka yang mulai berangkat, sambil berteriak-teriak, “Kak! Mau lima ratus, kak!”. Yang lain ikut berteriak, ”Ya kak! Ayo lemparkan koinnya buat kami!”

Ia langsung buru-buru merogoh dompet di dalam ranselnya dan mengambil beberapa uang recehan untuk dilemparkan ke anak-anak itu. Meski ia menyukai pemandangan anak-anak menyelam ke dasar danau dan berburu uang koin dengan menggebu-gebu, ia tetap merasa sedikit agak takut kalau-kalau mereka nanti tidak bisa kembali ke permukaan karena sesuatu di bawah sana. Nathan dapat melihat jelas raut wajahnya yang beberapa kali bergidik ngeri dan berharap-harap cemas. Beberapa kali ia berteriak dari atas kapal, “Hey! Are you ok?!”, dan begitu mereka muncul, dengan spontan ia berteriak, ”Yeay!” lantas bertepuk tangan. Ia bahkan tidak peduli dengan berbagai lirikan mata orang-orang yang sejak tadi menghujamnya seperti ia adalah makhluk paling aneh di jagat raya ini.

“Kau mau sepakat denganku tentang satu hal?” tanya Nathan setengah berbisik.
“Sepakat tentang apa?” balasnya penasaran. Ini adalah pertanyaan pertama yang keluar dari saudara sepupunya itu. Sebelumnya ia hanya bisa pasrah menjawab berbagai pertanyaan tidak masuk akal, tanpa balas bertanya apapun.

“Sementara selama perjalanan ini kau tidak kuperbolehkan untuk berbicara dalam bahasa Inggris, jika kau mau benar-benar belajar bahasa Batak,” jawab Nathan tegas sambil memandangnya dengan sangat tajam seolah berkata, Kau tidak ada pilihan apapun, selain setuju.

“Hmm.. Yaa.. It’s not easy, but I’ll try..” jawabnya dengan berat hati. Agak sulit baginya untuk membungkam mulut supaya tidak spontan berbahasa Inggris. Itu seperti melarangnya untuk makan cokelat. Beberapa kali ia berargumen seperti itu, bahkan ketika orangtuanya mengingatkan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik selama ia berada di Sumatera.
Eits! Kau baru saja melanggar kesepakatan kita,” lirik Nathan judes. Baru saja ia ingin mengumumkan sebuah hukuman apabila sepupunya itu melakukan pelanggaran lagi, kapal yang mengantarkan mereka ke Tomok sudah berbunyi sedemikian kencangnya, tanda bahwa dalam hitungan beberapa menit lagi mereka akan tiba di Tomok, tempat yang menjadi pintu masuk Pulau Samosir.

*****

Perjalanan dari Tomok menuju Pangururan tak henti-hentinya membuat ia berdecak kagum. Hamparan sawah yang hijau dengan latar belakang danau yang masih bisa dijangkau dengan jelas oleh mata, bukit dan pegunungan yang membentang tinggi di sepanjang jalan, juga rumah-rumah adat orang Batak yang masih berdiri kokoh. Ia bahkan bisa melihat bagaimana kuburan bisa berdiri berdampingan dengan rumah-rumah masyarakat di sana, beberapa di antaranya juga berdiri di antara sisi-sisi sawah. Lagi-lagi terlintas di pikirannya, bagaimana Tuhan menciptakan semua ini?

“Tempat ini jauh dari apa yang kubayangkan. Ini bahkan lebih keren!” ujarnya bersemangat. Matanya tak juga lepas dari pemandangan di sepanjang perjalanan itu. Ia menengadahkan kepalanya keluar. Rambut panjangnya terkibas tanpa henti. Ia berusaha menikmati sejuknya semilir angin dan teduhnya udara di sepanjang jalan yang dihiasi nuansa hijau alami. Belum pernah ia merasa sedamai dan setenang itu.

“Aku lupa mengatakan kepadamu. Di Tomok tadi, tepat di dekat tempat-tempat yang menjual berbagai aksesoris dan oleh-oleh yang kau lihat itu, ada sebuah tempat unik. Di situ berdiri sebuah patung yang bisa manortor5. Namanya Sigale-gale,” jelas Nathan tanpa melepaskan pandangannya sedikitpun dari jalan di hadapannya.
 “Hah?! Patung bisa menari? Bagaimana caranya?” tanyanya kaget.
“Ya. Konon katanya dulu ia bisa menari-nari secara mistis jika diiringi dengan musik Batak. Tapi sekarang ya tidak lagi. Jadi hanya digerakkan oleh manusia saja,” jawab Nathan menjelaskan.

“Kita akan kesana kan?” tanyanya lantas penasaran. Berharap saudara sepupunya tak sekedar bergaya seperti seorang pemandu wisata yang handal.
“Menurutmu?” tanya Nathan balik.
“Karena kau sudah memberitahuku, kau harus bertanggungjawab atas itu, Bang Nathan.”
“Oke, oke. Aku harus jujur kalau aku agak kesulitan menghadapimu,” ucap Nathan polos, seraya berharap semoga tak ada pertanyaan apapun lagi yang terlontar setelah pernyataan jujurnya ini.
“Kau bukan yang pertama kali mengatakan itu, Bang Nathan.” Ia pun spontan tertawa.

*****

Mereka tiba di Pangururan ketika senja hampir menjelang. Di sana ada rumah Opung yang memang berdiri khusus untuk para keluarga yang singgah di Pangururan. Seorang ibu setengah baya beserta anaknya yang masih berusia 5 tahun tinggal dan menjaga rumah itu setiap hari. Beberapa rumah bermodel tembok batu-bata mulai berdiri di perkampungan kecil itu, meski masih ada juga rumah-rumah adat tradisional yang berdiri tegak tanpa perubahan sedikit pun. Tepat di persimpangan jalan mereka memarkirkan mobil karena jalan menuju rumah hanyalah jalan setapak dan harus melintasi kebun-kebun penduduk. Tak jauh di seberang sana berdiri sebuah gunung bernama Pusuk Buhit dengan danau yang luas di bawahnya. Kerbau-kerbau tertidur malas di hamparan rerumputan di dekat danau. Beberapa keramba ikan terlihat mengapung dengan rapi di atas danau Toba.

Tanpa terasa udara mulai dingin dan menusuk. Bergegas mereka berjalan dan menemukan sebuah rumah sederhana dengan sebuah tugu besar tak jauh dari rumah itu. Tugu yang menjadi tempat diletakkannya beberapa peti mati jenazah dari silsilah keluarga mereka. Hampir semua nama yang tertera di depan tugu itu tak dikenal sama sekali olehnya.

“Kita sudah sampai. Malam ini kita akan beristirahat di sini. Oh ya, perlu kuberi tahu, udara di sini sangat dingin kalau malam hari. Kusarankan tidak memakai baju-baju berbahan tipis. Oke?” kata Nathan mengingatkan.

Ia mengangguk kecil. Matanya lantas terpaku pada sebuah bingkai foto tua yang penuh dengan debu di atas rak buku kecil di dekat TV. Satu per satu wajah di foto itu diperhatikannya. Itu aku, Mama, Papa, dan Kak Ray. Sapaan Ibu penjaga rumah itu sekejap mengagetkannya. Logatnya begitu khas seperti orang-orang Batak lainnya. Sambil menguyah sirih ia mengingatkan untuk segera membersihkan badan  sebelum udara semakin dingin. Maridi ma6, ucapnya dalam bahasa Batak yang tak ia mengerti. Sepupunya sudah mengingatkannya tadi bahwa Ibu penjaga rumah itu tidak bisa berbahasa Indonesia.


Menghabiskan malam di sebuah perkampungan kecil yang menjadi kampung halaman Mamanya sama sekali tak pernah terbayang olehnya. Sebuah desa yang sangat sunyi dan jauh dari segala bentuk fasilitas hiburan. Terakhir ia dibawa kesana adalah saat usianya masih 4 tahun. Itu pun tak ada yang bisa diingatnya tentang tempat itu. Lebih dari 20 tahun ia menghabiskan hidupnya di negeri orang. Begitu tamat dari sekolah menengah pertama di Kalimantan, ia dan keluarganya pindah ke Australia. Hanya tanah Kalimantan yang bisa dikenalnya. Kota Manado yang menjadi kampung halaman Papanya pun hanya beberapa saat diinjaknya. Saat mereka akan pindah ke Australia, Papa menyempatkan waktu untuk singgah di Manado. Saat itu, untuk pertama kalinya ia menyadari Opa7-nya semakin menua. Rambutnya memutih, langkahnya mulai tertatih dan suaranya semakin lirih.

Begitu studinya di Universitas selesai dan keluarganya mendapat kabar bahwa mereka akan kembali ke Indonesia, ia memutuskan untuk bepergian selama satu bulan di Australia. Bersama teman-temannya semasa kuliah ia mengunjungi tempat demi tempat. Hingga suatu kali dalam perjalanannya ia bertemu dengan seorang laki-laki muda berkebangsaan Swiss bernama Jonathan. Ia seorang backpacker. Selama setahun ia melakukan perjalanan dari satu negara ke negara lain, dari satu benua ke benua lain. Mereka berkenalan atas dasar misi yang sama, mengukir sebuah cerita perjalanan. Begitu mengetahui bahwa ia adalah orang Indonesia, Papanya orang Manado dan Mamanya berasal dari Sumatera Utara, Jonathan terlihat begitu bersemangat. Dengan penuh gairah ia bercerita tentang berbagai tempat di Indonesia yang pernah dikunjunginya. Semuanya menarik, termasuk Danau Toba yang menurut dia sangat mengagumkan. Di akhir obrolan mereka, Jonathan mengatakan bahwa tanah kelahirannya sangat indah, dan ia harus menginjakkan kakinya di sana.

Pertemuan itu berhari-hari membuatnya berpikir. Ia baru tersadar betapa asingnya ia dengan tanah airnya sendiri. Seorang asing yang bahkan tidak lahir di sana mengenal banyak sisi keindahan kampung halamannya lebih dari dirinya sendiri. Ia pun masih ingat betapa terdiamnya ia saat itu karena tak tahu apapun tentang tanah kelahiran Papa dan Mamanya.

Karena itu, sebulan yang lalu ia mengutarakan niatnya untuk pergi ke Sumatera Utara begitu mereka tiba di Indonesia. Meski khawatir membiarkan anak perempuan satu-satunya bepergian sendiri, Papanya pun akhirnya mengizinkan dengan catatan ia harus bersedia ditemani oleh sanak saudara mereka di sana jika ingin pergi kemanapun. Mamanya lantas menghubungi kakak perempuannya supaya bisa menjaga dia selama berada di sana. Maka bertemulah ia dengan Nathan, saudara sepupunya dari Tante Elly, kakak perempuan Mamanya.

“Denise, kau tidak alergi ikan kan?” tanya Nathan membuyarkan lamunannya. Ia sampai tidak sadar kalau sejak tadi saudara sepupunya itu sudah berada di sampingnya.
“Tidak. Kenapa?” tanyanya balik.
“Aku baru saja minta dibuatkan Naniura8 untuk makan kita besok,” jawab Nathan ringkas.
Naniura? Apa itu?”. Perjalanan ini penuh dengan nama-nama yang tak pernah kudengar sebelumnya. Kali ini sejenis kerang atau patung yang bisa menari kah? pikirnya kemudian.
“Makanan paling nikmat sedunia. Lebih baik besok saja kau tahu. Hari ini kita sudah terlalu lelah. Jadi tidurlah, besok pagi kita akan kelilingi Pangururan ini.” Nathan lantas berlalu tanpa berhenti menguap panjang.
Hey!” panggilnya setengah berteriak. Nathan terkaget. Mulutnya bahkan belum selesai mengatup. Firasatnya sedikit tidak enak dengan panggilan tiba-tiba itu. Apa lagi ini?
“Ya? Apa lagi?” tanya Nathan sedikit gusar.
“Bang Nathan, aku lihat di luar sana bulan purnama. Benarkah ikan itu akan menjelma menjadi perempuan cantik seperti di buku-buku cerita SD dulu?” tanyanya sedikit mengernyitkan dahi, seperti ingin membuktikan sesuatu. Lebih tepatnya, ingin membuktikan apakah cerita rakyat itu benar terjadi atau tidak?
“Sekalipun benar, apa kau siap melihatnya?” tanya Nathan balik. Berharap setelah itu tidak ada lagi pertanyaan yang harus ia jawab. Ya Tuhan, sungguh aku sudah mengantuk, gumamnya hampir putus asa.
“Tidak sih. Aku rasa aku akan berlari jika melihat itu benar-benar terjadi,” jawabnya polos.
 “Syukurlah.” Nathan lega. Aku selamat, pikirnya. Tak lama ketika ia benar-benar akan beranjak dari tempat itu, ada satu panggilan lagi yang membuatnya terkaget untuk yang kedua kali dalam lima menit yang singkat itu.
Mauliate9 ya..” ucapnya sedikit terbata-bata. Meski terdengar janggal, kali ini Nathan benar-benar tersenyum lepas mendengar sepupunya itu berusaha keras mengucapkan bahasa Batak yang masih sulit diucapkannya. Nathan menganggukkan kepalanya dalam.
Malam itu terasa hangat. Ia meneguk teh manis panas terakhir dari cangkirnya. Hari ini begitu manis, gumamnya senang.

*****

Perahu-perahu kecil bersandar di tepi danau. Langit masih menyisakan sedikit rona kekuningan. Pagi itu udara cukup sejuk untuk berkeliling-keliling di sekitar danau. Beberapa penduduk desa sudah mulai berlalu-lalang. Para nelayan terlihat sedang melihat keramba ikannya, sementara tak jauh dari situ yang lainnya sedang mengangkati bebatuan kecil ke pinggir danau. Hamparan bunga matahari hampir setinggi badan orang dewasa terlihat begitu semarak dengan warna-warna kuningnya yang cerah. Di baliknya terlihat beberapa ibu di kampung itu sedang menanami cabai dengan penutup dari kain yang dililit di kepala mereka. Ia dan Nathan duduk di tepi danau, mengamati kehidupan pagi hari yang begitu alami dan jauh dari hiruk pikuk kota.

Kau tahu, Bang Nathan. Aku seringkali berpikir bagaimana Tuhan menciptakan perpaduan sesempurna ini. Berkali-kali aku berusaha menanyakannya kepadamu. Berharap aku bisa mendapat penjelasan yang memuaskan atas semua itu. Namun berkali-kali juga kau bilang bahwa itu tak akan bisa diselami dengan akal pikiran manusia. Sangat transrasional. Ya.. Agaknya aku harus sepakat. Kali ini aku merasa benar-benar kesulitan menemukan jawabannya,” ungkapnya lirih. Akhirnya ia tiba pada satu titik dimana ia hanya cukup mengagumi, dan berterimakasih karena ia bisa melihat lukisan Tuhan yang penuh warna itu dengan sempurna, tanpa mempertanyakan apapun pada Penciptanya.

Yaa.. Akalmu diciptakan bukan untuk melampaui semua itu. Sepakat? Ngomong-ngomong.. Apa kau menyukai tempat ini?” tanya Nathan kemudian.
“Sangat. Aku menyukai semua yang kutemukan di sini. Semuanya sangat indah dan unik. Di sini semua orang saling mengenal dan saling bertegur sapa ketika mereka bertemu di jalan. Aku jarang sekali menemukan pemandangan seperti ini sebelumnya,” jawabnya penuh haru

Air mukanya berseri-seri ketika menceritakan setiap bagian dari perjalanannya kali ini. Belum pernah ia merasakan perjalanan yang seberbeda itu. Menginjakkan kaki di tanah yang beberapa hari lalu masih terasa sangat asing baginya, dengan orang yang sama sekali belum pernah dikenalnya. Ia teringat bagaimana pertama kalinya saudara sepupunya itu kewalahan berbicara dengannya yang tak bisa berhenti berkata-kata dalam bahasa Inggris. Beberapa kali sepupunya itu protes, “Aku tak mengerti maksudmu”, dalam logat bahasa Bataknya yang begitu kental, sementara ia juga tak bisa menimpali dengan logat yang sama. Ia tertawa kecil, mengingat bagian demi bagian dari sebuah perjalanan yang ingin ia rangkai utuh menjadi sebuah cerita yang punya ruang tersendiri di dalam hatinya, dan tak ingin ia lupakan meski ia tidak tahu kapan bisa berada di sana lagi.

“Aku tak tahu kapan bisa kembali kesini. Yang bisa kupastikan hanya, suatu saat aku pasti berada di tempat ini lagi,” ucapnya sungguh-sungguh.
“Ide bagus. Aku aminkan. Kau memang harus kembali lagi kesini karena bahasa Batakmu masih kacau,” balas Nathan sambil tertawa kecil.
“Hahahaha. Begitukah?”. Ia tergelak. Pasti Bang Nathan menahan tawa setengah mati saat mendengar bahasa Batakku yang amburadul tadi malam, tebaknya.

Tikar sudah tergelar tepat di belakang mereka. Lengkap dengan sebakul nasi panas dan Naniura yang wangi bumbu khas Batak. Tanpa sadar matahari sudah tinggi, dan sejak tadi rupanya sang Ibu penjaga rumah sudah menyiapkan makanan untuk mereka. Sesuai yang dipesankan, makanan sesedap itu akan lebih sedap lagi jika dimakan di pinggir danau sambil menikmati suara ombak yang saling beradu. Disuapnya pelan-pelan nasi dan Naniura ke dalam mulutnya. Rasa pedas bercampur asam yang meninggalkan sensasi luar biasa di indera pengecap. Suatu saat, aku pasti kembali kesini, janjinya dalam hati.

“Ayo.. Makan yang banyak, Butet10…”



------------------------------------------------------------

1  Makanan khas masyarakat Batak, seringkali disebut Spaghetti Batak karena bentuknya seperti lidi. Mie digomak (digenggam dengan tangan) dan biasa disajikan dengan kuah dan sambal ataupun dibuat seperti mie goreng.
2  Air dari pohon aren yang menjadi minuman khas masyarakat Batak, seringkali juga dihidangkan dalam acara adat Batak.
3  Panggilan untuk saudara perempuan dari ibu.
4   Panggilan untuk kakek atau nenek.
5   Menari.
6   Mandi lah.
7  Panggilan untuk kakek.
8 Ikan khas Batak yang tidak dimasak, namun dibumbui dan direndam dengan asam jungga yang kemudian akan mengubahnya dari ikan mentah menjadi ikan yang siap dimakan.
9 Terimakasih.
10 Panggilan untuk anak perempuan.



Sepotong Surga di Utara
Ditulis pada tahun 2012