Selasa, 04 April 2017

Saya Tidak Mau Minum Starbucks Lagi

0

"Saya tidak mau minum Starbucks lagi."

Salah seorang tim penyeleksi beasiswa kami mengungkapkan hal tersebut setelah mendengar cerita tentang seorang mahasiswa yang hanya dijatah Rp 20.000 sehari untuk makan. Seorang lainnya bahkan sampai menangis begitu mengetahui ada mahasiswa lain yang hanya punya uang Rp 5.000 untuk biaya makannya sehari. Itu artinya ia hanya mampu makan 1 kali. Entah itu hanya makan pagi, hanya makan siang, atau hanya makan malam. Ada pula yang ayahnya hanya seorang tukang batu sehingga kesusahan membiayai uang kuliah anaknya yang berjumlah Rp 500.000 per semester. Angka ini mungkin tidak seberapa. 

Demikianlah para remaja belasan tahun memberikan pelajaran, bahkan 'tamparan' untuk saya, dan sebagian orang yang terlibat dalam proses seleksi penerima beasiswa di Universitas Sumatra Utara, Kamis (30/3/2017) lalu.

Saya kemudian bertanya kepada salah seorang dari tim tersebut. "Apa korelasinya dengan tidak minum Starbucks?"

Jawabnya begini.
"Di kantor kita, minum Starbucks nyaris seperti sebuah habit. Sedangkan kita tahu harganya tidak murah. Bisa Rp 50.000 per cup. Itu kalau hanya sekali minum. Kalau yang sehari bisa minum 3 kali bisa jadi Rp 150.000 yang dihamburkan."

Sangat masuk akal, pikir saya. Yang saya tangkap dari penggambaran sederhana itu adalah bahwa ada perasaan bersalah di balik kebiasaan yang terlihat keren itu. Sementara ternyata ada seorang anak yang untuk memenuhi kebutuhan primernya saja tak mampu, dan kita sibuk dengan kebutuhan tersier kita.

Semua yang terjadi dalam ruangan itu, hanya butuh waktu sebentar untuk membuat saya mengerti bahwa hidup saya terlalu beruntung saat seusia mereka.

Saya masih merekam bagaimana raut muka lelah mereka menantikan kesempatan wawancara. Mereka tetap duduk manis ketika waktu mulai beranjak malam. Saya yakin mereka mati kebosanan, tapi tak punya pilihan. Jika mereka tidak benar-benar butuh, mereka tidak mungkin datang dan bersabar dalam situasi itu. Mereka bahkan melupakan rasa malu ketika tangis mereka terpaksa harus pecah di dalam ruangan itu.

Lalu saya bertanya kepada 2 orang anak, apa yang membuat mereka harus mendaftar beasiswa ini, walaupun sesungguhnya saya sudah bisa memprediksi jawaban mereka.

Ingin meringankan beban orang tua.

Percayalah, alasan ini tidak pernah terasa klise jika mendengar langsung dari getaran suara mereka yang mengandung harapan, dan menyaksikan mereka mengatakannya dengan sisa airmata yang membekas di wajahnya.

Bahkan sejak saat itu, saya belajar untuk tidak lagi menjudge orang-orang ber-IPK sempurna sebagai orang yang tak punya pergaulan dan hanya hidup di dimensinya sendiri.

Tahu kenapa?

Kita belum tentu mengerti bagaimana sulitnya perjuangan seseorang untuk bisa meraih pendidikannya, dan ketika sesuatu yang sangat berharga itu bisa didapatkannya, dia pasti mengupayakan seluruh kemampuan terbaiknya. Seluruhnya.

Tidak ada alasan untuk tidak serius.
Tidak ada waktu untuk bermain-main.

Jadi, jangan pernah lagi mengata-ngatai seseorang ber-IPK tinggi, karena kita tak pernah tahu jika itu adalah harga yang harus ia bayar atas perjuangannya.

Ketika akhirnya seluruh proses seleksi beasiswa selesai di hari itu, saya sadar, saya sedang membawa pulang pelajaran untuk diri saya sendiri. Begitupun beberapa teman. Bahkan malam saat kami makan dengan hidangan seafood berlimpah, kami teringat dengan anak-anak yang entah malam itu dia bisa makan atau tidak seperti kami. Perjumpaan kami dengan kisah-kisah mereka terlalu powerful, yang kadang membuat kami sekaligus merasa bersalah. Tapi tidak, kami seharusnya belajar bersyukur.

Hari ini hari kedua kami kembali ke kantor setelah perjalanan Medan minggu lalu. Saya belum menemukan satu pun batang hidung para tim penyeleksi berseliweran dengan sebuah cup kopi Starbucks di tangannya. Tidak juga berpas-pasan dengan mereka di depan gerainya. Saya pikir mungkin mereka benar-benar sedang menunaikan janji mulianya.

Saya tidak mau minum Starbucks lagi.

#

With a warm regards from us :)