Pikirannya teralih sekian menit dari ruang
di bumi ini, bahkan dari seseorang yang sejak puluhan jam lalu menemaninya di
sebuah kota kecil bernama Rantau Prapat. Riuhnya suara musik khas Sumatera
Utara yang mendengung kencang dari bermacam-macam bus yang melintas sama sekali
tidak mengganggunya. Sepiring
Mie Gomak1 dan secangkir
teh manis panas yang tersaji di hadapannya masih terabaikan sejak tadi. Teduhnya pemandangan danau yang
terhampar luas di depan mata mengalihkan perhatiannya dari apapun. Ia sedikit
kecewa mengapa Mamanya tak memberitahunya sejak kecil bahwa tanah Sumatera
Utara itu begitu cantik.
“Kau pernah tahu berapa luas danau ini?”
tanyanya kepada Nathan, anak sulung dari kakak perempuan Mamanya yang diamanatkan khusus untuk menemaninya pergi
kemanapun selama tujuh hari
berada di sana.
“Aku tak terlalu berminat untuk
mengetahuinya,” jawab Nathan singkat. Ia pun mulai mengaduk-aduk sepiring mie
di hadapannya dengan garpunya, dan mulai melahapnya perlahan-lahan.
“Kau pernah berpikir bagaimana Tuhan menciptakan
ini?” tanyanya lagi kepada saudara sepupunya itu.
“Aku tak bisa menyelaminya.”
“Aku pikir ini tak mungkin tercipta dari
sebuah legenda seperti yang aku sering baca ketika SD dulu,” balasnya
berargumen.
“Aku sepakat. Tapi lebih baik kau habiskan
dulu makananmu sebelum kau makin tidak berselera. Mie itu sudah tidak nikmat lagi
kalau dimakan dalam keadaan dingin,” ujar Nathan kemudian.
“Oke.” Ia mengernyitkan dahi, seperti
belum bisa sepenuhnya menurut.
“Hmmm.. Bisakah nanti kita kembali lagi ke
tempat tadi? Itu kerang rebus terenak yang pernah aku makan dan aku ingin
membawanya beberapa kantong lagi, dan.. juga air niranya.. Oke?” lanjutnya tak lama.
“Kau yakin ingin membawa air tuak2 itu lagi?!” tanya
Nathan sedikit kaget.
Ia belum pernah menemukan seorangpun perempuan yang bisa
menyukai minuman seperti itu selain perempuan-perempuan di daerahnya. Itupun
tidak semuanya.
“Ya. Kenapa tidak? Rasanya enak, dan aku belum pernah
menemukan perpaduan makanan dan minuman seunik itu, bahkan ketika aku masih
tinggal di Melbourne.”
“Okelah. Apapun untuk seorang Denise,”
jawab Nathan akhirnya pasrah. Belum pernah ia bertemu dengan perempuan yang
begitu kritis dan banyak bertanya. Ia bahkan sampai kesulitan menjelaskan
apapun, termasuk perkataannya untuk tidak meminum bergelas-gelas tuak jika tidak ingin mabuk.
“Segera habiskan makananmu. Sebentar lagi
kapalnya akan datang, dan kita tidak boleh ketinggalan karena perjalanan menuju
Pangururan masih panjang,” lanjut Nathan kemudian.
“Hmmm.. Bang Nathan, bisakah kau ajari aku
berbicara seperti logat orang Batak?” tanyanya serius. Pria itu seketika
terdiam. Bingung harus terlihat serius, atau dengan jujur tertawa.
Tawa Nathan meledak. “Hahaha.. Denise, aku tak perlu mengajarimu. Kebanyakan
orang yang tinggal cukup lama di sini, secara alamiah akan mengikuti sendiri.
Aku akan tanyakan kepada Tante3
bagaimana logat bahasa Batakmu begitu kau pulang ke Jakarta.” Anak ini memang ajaib, pikirnya. Entah
darimana ia mendapat ilham mengeluarkan kata-kata semagis itu.
“Sejak aku tiba di sini, nyaris semua
orang melihatku seperti orang asing karena aku tak bisa berbahasa Batak. Opung4 bilang kalau aku tidak
seperti orang Batak karena terlalu lama tinggal di negeri orang. Katanya, bahasa
dan wajahku jauh sekali dari tipikal orang Batak,” ujarnya sedikit putus asa. “Bagaimanapun
aku tetap orang Batak meskipun aku tak punya marga di sini,” lanjutnya lagi.
Ada satu menit mereka saling terdiam dari satu jam lebih mereka duduk bersama
tanpa berhenti bicara. Nathan mulai
mengerti sebuah irony yang terjadi
atas gadis yang selama 4 hari ini ia temani. Raut wajahnya tampak sendu,
berkontradiksi dengan ekspresi girangnya yang meluap-luap ketika pertama kali
melihat hamparan luasnya air Danau Toba dari ketinggian jalan di Prapat tadi. Lantas
ia berteriak-teriak seperti orang yang belum pernah melihat air, ”Wow!! Ini
lebih pantas disebut lautan!”
Kapal feri menuju Tomok sudah berlabuh di
dermaga pelabuhan siang itu. Kapal terakhir jika mereka tidak mau tiba
kemalaman di Pangururan, sebuah kota kecil di Pulau Samosir, tanah kelahiran Opung dan Mama mereka. Suaranya jelas
membuyarkan keheningan yang terasa beradab-abad.
“Ayo.. Berangkat! Jangan khawatir, kita
punya banyak waktu untuk belajar bahasa.. Oke?” ujar Nathan tersenyum.
Seketika wajahnya cerah kembali. Dengan
semangat ia mengangkat ranselnya yang sudah belel dan memakai topi bernuansa army-nya kembali, tanda ia sudah siap mengarungi perjalanannya yang
masih puluhan kilometer di depan sana.
“Oh ya! Jangan lupa siapkan uang koin yang
banyak!” lanjut Nathan sepintas membuatnya penasaran. Ia belum mengerti mengapa
saudaranya sepupunya itu memintanya untuk menyiapkan uang koin yang banyak, hingga
ia menatap takjub atas banyaknya anak kecil yang berenang-renang lincah di
sekitar kapal feri mereka yang mulai berangkat, sambil berteriak-teriak, “Kak!
Mau lima ratus, kak!”. Yang lain ikut berteriak, ”Ya kak! Ayo lemparkan koinnya
buat kami!”
Ia langsung buru-buru merogoh dompet di
dalam ranselnya dan mengambil beberapa uang recehan untuk dilemparkan ke
anak-anak itu. Meski ia menyukai pemandangan anak-anak menyelam ke dasar danau dan berburu uang koin dengan menggebu-gebu,
ia tetap merasa sedikit agak takut kalau-kalau mereka nanti tidak bisa kembali
ke permukaan karena sesuatu di bawah sana. Nathan dapat melihat jelas raut
wajahnya yang beberapa kali bergidik ngeri dan berharap-harap cemas. Beberapa
kali ia berteriak dari atas kapal, “Hey!
Are you ok?!”, dan begitu mereka muncul, dengan spontan ia berteriak, ”Yeay!” lantas bertepuk tangan. Ia
bahkan tidak peduli dengan berbagai lirikan mata orang-orang yang sejak tadi
menghujamnya seperti ia adalah makhluk paling aneh di jagat raya ini.
“Kau mau sepakat denganku tentang satu
hal?” tanya Nathan setengah berbisik.
“Sepakat tentang apa?” balasnya penasaran.
Ini adalah pertanyaan pertama yang keluar dari saudara sepupunya itu.
Sebelumnya ia hanya bisa pasrah menjawab berbagai pertanyaan tidak masuk akal,
tanpa balas bertanya apapun.
“Sementara selama perjalanan ini kau tidak
kuperbolehkan untuk berbicara dalam bahasa Inggris, jika kau mau benar-benar
belajar bahasa Batak,” jawab Nathan tegas sambil memandangnya dengan sangat tajam
seolah berkata, “Kau tidak ada pilihan apapun, selain setuju.”
“Hmm.. Yaa.. It’s not easy, but I’ll try..” jawabnya dengan berat hati. Agak
sulit baginya untuk membungkam mulut supaya tidak spontan berbahasa Inggris.
Itu seperti melarangnya untuk makan cokelat. Beberapa kali ia berargumen
seperti itu, bahkan ketika orangtuanya mengingatkan untuk menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik selama ia berada di Sumatera.
“Eits!
Kau baru saja melanggar kesepakatan kita,” lirik Nathan judes. Baru saja ia
ingin mengumumkan sebuah hukuman apabila sepupunya itu melakukan pelanggaran lagi,
kapal yang mengantarkan mereka ke Tomok sudah berbunyi sedemikian kencangnya, tanda
bahwa dalam hitungan beberapa menit lagi mereka akan tiba di Tomok, tempat yang
menjadi pintu masuk Pulau Samosir.
*****
Perjalanan dari Tomok menuju Pangururan
tak henti-hentinya membuat ia berdecak kagum. Hamparan sawah yang hijau dengan
latar belakang danau yang masih bisa dijangkau dengan jelas oleh mata, bukit
dan pegunungan yang membentang tinggi di sepanjang jalan, juga rumah-rumah adat
orang Batak yang masih berdiri kokoh. Ia bahkan bisa melihat bagaimana kuburan bisa
berdiri berdampingan dengan rumah-rumah masyarakat di sana, beberapa di
antaranya juga berdiri di antara sisi-sisi sawah. Lagi-lagi terlintas di
pikirannya, bagaimana Tuhan menciptakan semua ini?
“Tempat ini jauh dari apa yang
kubayangkan. Ini bahkan lebih keren!” ujarnya bersemangat. Matanya tak juga lepas
dari pemandangan di sepanjang perjalanan itu. Ia menengadahkan kepalanya
keluar. Rambut panjangnya terkibas tanpa henti. Ia berusaha menikmati sejuknya
semilir angin dan teduhnya udara di sepanjang jalan yang dihiasi nuansa hijau
alami. Belum pernah ia merasa sedamai dan setenang itu.
“Aku lupa mengatakan kepadamu. Di Tomok
tadi, tepat di dekat tempat-tempat yang menjual berbagai aksesoris dan
oleh-oleh yang kau lihat itu, ada sebuah tempat unik. Di situ berdiri sebuah
patung yang bisa manortor5.
Namanya Sigale-gale,” jelas Nathan tanpa melepaskan pandangannya sedikitpun
dari jalan di hadapannya.
“Hah?! Patung bisa menari? Bagaimana caranya?” tanyanya
kaget.
“Ya. Konon katanya dulu ia bisa
menari-nari secara mistis jika diiringi dengan musik Batak. Tapi sekarang ya tidak
lagi. Jadi hanya digerakkan oleh manusia saja,” jawab Nathan menjelaskan.
“Kita akan kesana kan?” tanyanya lantas
penasaran. Berharap saudara sepupunya tak sekedar bergaya seperti seorang
pemandu wisata yang handal.
“Menurutmu?” tanya
Nathan balik.
“Karena kau sudah
memberitahuku, kau harus bertanggungjawab atas itu, Bang Nathan.”
“Oke, oke. Aku harus
jujur kalau aku agak kesulitan menghadapimu,” ucap Nathan polos, seraya
berharap semoga tak ada pertanyaan apapun lagi yang terlontar setelah pernyataan jujurnya ini.
“Kau bukan yang pertama
kali mengatakan itu, Bang Nathan.” Ia pun spontan tertawa.
*****
Mereka tiba di
Pangururan ketika senja hampir menjelang. Di sana ada rumah Opung yang memang berdiri khusus untuk
para keluarga yang singgah di Pangururan. Seorang ibu setengah baya beserta
anaknya yang masih berusia 5 tahun tinggal dan menjaga rumah itu setiap hari. Beberapa
rumah bermodel tembok batu-bata mulai berdiri di perkampungan kecil itu, meski
masih ada juga rumah-rumah adat tradisional yang berdiri tegak tanpa perubahan
sedikit pun. Tepat di persimpangan
jalan mereka memarkirkan mobil karena jalan menuju rumah hanyalah jalan setapak
dan harus melintasi kebun-kebun penduduk. Tak jauh di seberang sana berdiri
sebuah gunung bernama Pusuk Buhit dengan danau yang luas di bawahnya. Kerbau-kerbau
tertidur malas di hamparan rerumputan di dekat danau. Beberapa keramba ikan terlihat
mengapung dengan rapi di atas danau
Toba.
Tanpa terasa udara mulai dingin dan
menusuk. Bergegas mereka berjalan dan menemukan sebuah rumah sederhana dengan
sebuah tugu besar tak jauh dari rumah itu. Tugu yang menjadi tempat
diletakkannya beberapa peti mati jenazah dari silsilah keluarga mereka. Hampir
semua nama yang tertera di depan tugu itu tak dikenal sama sekali olehnya.
“Kita sudah sampai. Malam ini kita akan
beristirahat di sini. Oh ya, perlu kuberi tahu, udara di sini sangat dingin
kalau malam hari. Kusarankan tidak memakai baju-baju berbahan tipis. Oke?” kata
Nathan mengingatkan.
Ia mengangguk kecil. Matanya lantas terpaku pada
sebuah bingkai foto tua yang penuh dengan debu di atas rak buku kecil di dekat
TV. Satu per satu wajah di foto itu diperhatikannya. Itu aku, Mama, Papa, dan Kak Ray. Sapaan Ibu penjaga rumah itu
sekejap mengagetkannya. Logatnya begitu khas seperti orang-orang Batak lainnya.
Sambil menguyah sirih ia mengingatkan untuk segera membersihkan badan sebelum udara semakin dingin. Maridi ma6, ucapnya dalam
bahasa Batak yang tak ia mengerti. Sepupunya sudah mengingatkannya tadi bahwa
Ibu penjaga rumah itu tidak bisa berbahasa Indonesia.
Menghabiskan malam di sebuah perkampungan
kecil yang menjadi kampung halaman Mamanya sama sekali tak pernah terbayang
olehnya. Sebuah desa yang sangat sunyi dan jauh dari segala bentuk fasilitas
hiburan. Terakhir ia dibawa kesana adalah saat usianya masih 4 tahun. Itu pun
tak ada yang bisa diingatnya tentang tempat itu. Lebih dari 20 tahun ia
menghabiskan hidupnya di negeri orang. Begitu tamat dari sekolah menengah
pertama di Kalimantan, ia dan keluarganya pindah ke Australia. Hanya tanah
Kalimantan yang bisa dikenalnya. Kota Manado yang menjadi kampung halaman
Papanya pun hanya beberapa saat diinjaknya. Saat mereka akan pindah ke
Australia, Papa menyempatkan waktu untuk singgah di Manado. Saat itu, untuk
pertama kalinya ia menyadari Opa7-nya semakin menua. Rambutnya memutih,
langkahnya mulai tertatih dan suaranya semakin lirih.
Begitu studinya di Universitas selesai dan
keluarganya mendapat kabar bahwa mereka akan kembali ke Indonesia, ia
memutuskan untuk bepergian selama satu
bulan di Australia. Bersama teman-temannya semasa kuliah ia mengunjungi tempat demi
tempat. Hingga suatu kali dalam perjalanannya ia bertemu dengan seorang
laki-laki muda berkebangsaan Swiss bernama Jonathan. Ia seorang backpacker. Selama setahun ia melakukan
perjalanan dari satu negara ke negara lain, dari satu benua ke benua lain. Mereka
berkenalan atas dasar misi yang sama, mengukir sebuah cerita perjalanan. Begitu
mengetahui bahwa ia adalah orang Indonesia, Papanya orang Manado dan Mamanya
berasal dari Sumatera Utara, Jonathan terlihat begitu bersemangat. Dengan penuh
gairah ia bercerita tentang berbagai tempat di Indonesia yang pernah dikunjunginya.
Semuanya menarik, termasuk Danau Toba yang menurut dia sangat mengagumkan. Di akhir
obrolan mereka, Jonathan mengatakan bahwa tanah kelahirannya sangat indah, dan
ia harus menginjakkan kakinya di sana.
Pertemuan itu berhari-hari membuatnya
berpikir. Ia baru tersadar
betapa asingnya ia dengan tanah airnya sendiri. Seorang asing yang bahkan tidak
lahir di sana mengenal banyak sisi keindahan kampung halamannya lebih dari
dirinya sendiri. Ia pun masih ingat betapa terdiamnya ia saat itu karena tak
tahu apapun tentang tanah kelahiran Papa dan Mamanya.
Karena itu, sebulan yang lalu ia mengutarakan
niatnya untuk pergi ke Sumatera Utara begitu mereka tiba di Indonesia. Meski
khawatir membiarkan anak perempuan satu-satunya bepergian sendiri, Papanya pun
akhirnya mengizinkan dengan catatan ia harus bersedia ditemani oleh sanak
saudara mereka di sana jika ingin pergi kemanapun. Mamanya lantas menghubungi
kakak perempuannya supaya bisa menjaga dia selama berada di sana. Maka bertemulah
ia dengan Nathan, saudara sepupunya dari Tante Elly, kakak perempuan Mamanya.
“Denise, kau tidak alergi ikan kan?” tanya
Nathan membuyarkan lamunannya. Ia sampai tidak sadar kalau sejak tadi saudara
sepupunya itu sudah berada di sampingnya.
“Tidak. Kenapa?” tanyanya balik.
“Aku baru saja minta dibuatkan Naniura8
untuk makan kita besok,” jawab Nathan
ringkas.
“Naniura?
Apa itu?”. Perjalanan ini
penuh dengan nama-nama yang tak pernah kudengar sebelumnya. Kali ini sejenis kerang
atau patung yang bisa menari kah? pikirnya kemudian.
“Makanan paling nikmat sedunia. Lebih baik
besok saja kau tahu. Hari ini kita sudah terlalu lelah. Jadi tidurlah, besok pagi
kita akan kelilingi Pangururan ini.” Nathan lantas berlalu tanpa berhenti
menguap panjang.
“Hey!”
panggilnya setengah berteriak. Nathan terkaget. Mulutnya bahkan belum selesai
mengatup. Firasatnya sedikit tidak enak dengan panggilan tiba-tiba itu. Apa
lagi ini?
“Ya? Apa lagi?” tanya Nathan sedikit
gusar.
“Bang Nathan, aku lihat di luar sana bulan
purnama. Benarkah ikan itu akan menjelma menjadi perempuan cantik seperti di
buku-buku cerita SD dulu?” tanyanya sedikit mengernyitkan dahi, seperti ingin
membuktikan sesuatu. Lebih tepatnya, ingin membuktikan apakah cerita rakyat itu
benar terjadi atau tidak?
“Sekalipun benar, apa kau siap melihatnya?”
tanya Nathan balik. Berharap setelah itu tidak ada lagi pertanyaan yang harus
ia jawab. Ya Tuhan, sungguh aku sudah mengantuk, gumamnya hampir putus asa.
“Tidak sih. Aku rasa aku akan berlari jika
melihat itu benar-benar terjadi,” jawabnya polos.
“Syukurlah.” Nathan lega. Aku selamat, pikirnya. Tak lama ketika
ia benar-benar akan beranjak dari tempat itu, ada satu panggilan lagi yang
membuatnya terkaget untuk yang kedua kali dalam lima menit yang singkat itu.
“Mauliate9
ya..” ucapnya sedikit terbata-bata. Meski terdengar janggal, kali ini Nathan
benar-benar tersenyum lepas mendengar sepupunya itu berusaha keras mengucapkan
bahasa Batak yang masih sulit diucapkannya. Nathan menganggukkan kepalanya
dalam.
Malam itu terasa hangat. Ia meneguk teh
manis panas terakhir dari cangkirnya. Hari ini begitu manis, gumamnya senang.
*****
Perahu-perahu kecil bersandar di tepi
danau. Langit masih menyisakan sedikit rona kekuningan. Pagi itu udara cukup
sejuk untuk berkeliling-keliling di sekitar danau. Beberapa penduduk desa sudah
mulai berlalu-lalang. Para nelayan terlihat sedang melihat keramba ikannya,
sementara tak jauh dari situ yang lainnya sedang mengangkati bebatuan kecil ke pinggir
danau. Hamparan bunga matahari hampir setinggi badan orang dewasa terlihat
begitu semarak dengan warna-warna kuningnya yang cerah. Di baliknya terlihat beberapa
ibu di kampung itu sedang menanami cabai dengan penutup dari kain yang dililit
di kepala mereka. Ia dan Nathan duduk di tepi danau, mengamati kehidupan pagi
hari yang begitu alami dan jauh dari hiruk pikuk kota.
“Kau tahu, Bang Nathan. Aku seringkali berpikir bagaimana Tuhan
menciptakan perpaduan sesempurna ini. Berkali-kali aku berusaha menanyakannya kepadamu. Berharap aku bisa
mendapat penjelasan yang memuaskan atas semua itu. Namun berkali-kali juga kau
bilang bahwa itu tak akan bisa diselami dengan akal pikiran manusia. Sangat transrasional. Ya.. Agaknya aku harus sepakat. Kali ini aku
merasa benar-benar kesulitan menemukan jawabannya,” ungkapnya lirih. Akhirnya ia tiba pada satu titik dimana ia hanya cukup
mengagumi, dan berterimakasih karena ia bisa melihat lukisan Tuhan yang penuh
warna itu dengan sempurna, tanpa
mempertanyakan apapun pada Penciptanya.
“Yaa.. Akalmu diciptakan bukan untuk melampaui semua itu. Sepakat? Ngomong-ngomong..
Apa kau menyukai tempat ini?” tanya Nathan kemudian.
“Sangat. Aku menyukai semua yang kutemukan
di sini. Semuanya sangat indah dan unik. Di sini semua orang saling mengenal
dan saling bertegur sapa ketika mereka bertemu di jalan. Aku jarang sekali
menemukan pemandangan seperti ini sebelumnya,” jawabnya penuh haru.
Air mukanya berseri-seri ketika menceritakan setiap bagian dari
perjalanannya kali ini. Belum pernah ia merasakan perjalanan yang seberbeda itu.
Menginjakkan kaki di tanah yang beberapa hari lalu masih terasa sangat asing
baginya, dengan orang yang sama sekali belum pernah dikenalnya. Ia teringat bagaimana pertama kalinya
saudara sepupunya itu kewalahan berbicara dengannya yang tak bisa berhenti
berkata-kata dalam bahasa Inggris. Beberapa kali sepupunya itu protes, “Aku tak mengerti
maksudmu”, dalam logat bahasa
Bataknya yang begitu kental, sementara ia juga tak bisa menimpali dengan logat
yang sama. Ia tertawa kecil, mengingat bagian demi bagian dari sebuah
perjalanan yang ingin ia rangkai utuh menjadi sebuah cerita yang punya ruang
tersendiri di dalam hatinya, dan tak ingin ia lupakan meski ia tidak tahu kapan
bisa berada di sana lagi.
“Aku tak tahu kapan
bisa kembali kesini. Yang bisa kupastikan hanya, suatu saat aku pasti berada di
tempat ini lagi,” ucapnya sungguh-sungguh.
“Ide bagus. Aku
aminkan. Kau memang harus kembali lagi kesini karena bahasa Batakmu masih
kacau,” balas Nathan sambil
tertawa kecil.
“Hahahaha. Begitukah?”.
Ia tergelak.
Pasti Bang Nathan menahan tawa setengah
mati saat mendengar bahasa Batakku yang amburadul tadi malam, tebaknya.
Tikar sudah tergelar tepat
di belakang mereka. Lengkap dengan sebakul nasi panas dan Naniura yang wangi bumbu khas Batak. Tanpa sadar matahari sudah tinggi, dan sejak tadi
rupanya sang Ibu penjaga rumah sudah menyiapkan makanan untuk mereka. Sesuai
yang dipesankan, makanan sesedap itu akan lebih sedap lagi jika dimakan di
pinggir danau sambil menikmati suara ombak yang saling beradu. Disuapnya
pelan-pelan nasi dan Naniura ke dalam
mulutnya. Rasa pedas bercampur asam yang meninggalkan sensasi luar biasa di
indera pengecap. Suatu saat, aku pasti kembali kesini, janjinya dalam hati.
“Ayo.. Makan yang
banyak, Butet10…”
------------------------------------------------------------
1 Makanan khas
masyarakat Batak, seringkali disebut Spaghetti
Batak karena bentuknya seperti lidi. Mie digomak (digenggam dengan
tangan) dan biasa disajikan dengan kuah dan sambal ataupun
dibuat seperti mie goreng.
2 Air dari pohon aren yang
menjadi minuman khas masyarakat Batak, seringkali
juga dihidangkan dalam acara adat Batak.
3 Panggilan untuk saudara perempuan dari ibu.
4 Panggilan untuk kakek
atau nenek.
5 Menari.
6 Mandi lah.
7 Panggilan untuk kakek.
8 Ikan khas Batak yang tidak dimasak,
namun dibumbui dan direndam dengan asam jungga yang kemudian akan mengubahnya dari ikan mentah menjadi ikan yang siap
dimakan.
9 Terimakasih.
10 Panggilan untuk anak perempuan.
Sepotong Surga di Utara
Ditulis pada tahun 2012